Rabu, 23 Januari 2008

Kaum Wanita Perubah Peradaban

36 tahun sudah aku menjadi perempuan

Baik dulu, sebagai anak... perempuan,
lalu menjadi seorang gadis... masih perempuan,
lalu berani memutuskan menjadi istri... juga perempuan...

hingga ku menjadi ibu saat ini aku tetap perempuan,
dan akan selamanya jadi perempuan


36 tahun sudah aku menjadi perempuan

Selama masa hidup yang panjang itu lama baru kusadari betapa sulitnya ternyata menjadi anak perempuan dulu itu
dan lebih sulit lagi menjadi istri yang telah kujalani sekian tahun ke sini
dan yang tersulit dari itu... ketika lahir anak-anakku... dan aku dipanggil:
IBU!

Menjadi ibu dan dipanggil ibu
sebab ada anak-anak yang lahir dan tumbuh besar semakin besar
di kedua lingkar tangan dan mata ini;
menjadi ibu dan dipanggil ibu
lantaran itulah terminal akhir dari perjalanan hidup dan kehidupan perempuan;
menjadi ibu semesta alam karena itulah puncak karir kehidupan

Begitulah aku selalu diajarkan

Tapi oiiii... alangkah sulitnya jadi kaum perempuan
Beban jadi orang perempuan ini beraneka ragam
Bukan hanya soal melahirkan, menjaga kesucian, atau harus ikut cari makan,
dan bahkan diserahi tanggung jawab pendidikan, tapi yang lebih lagi begini:
Para lelaki yang kami cintai
sampai hari ini masih juga belum mengerti si tulang-rusuk ambilan ini
membutuhkan kawan untuk berbagi

Apa yang diperjuangkan Ibu Kartini di negeri ini sering ditafsirkan
seenaknya sendiri
Lebih dari 100 juta kita, kaum perempuan di negeri ini
tidak benar-benar mengerti makna emansipasi
Dan mengapa kita perempuan yang musti mengubah peradaban ini?

Jika laki-laki memutuskan dengan akalnya, perempuanlah yang menggenapkan dengan hatinya
Jika laki-laki memandang dengan matanya, perempuanlah yang mengantarkannya pada jiwanya
Bukankah keadilan Tuhan sesungguhnya telah nyata
Segala yang dicipta saling berpasangan, saling melengkapkan, begitu seharusnya

Tak ada menang dan kalah dalam pengabdian ini,
tak boleh menafsirkan harmonisasi menjadi emansipasi,
Karena itulah izinkan aku berkata sejujurnya
bahwa engkau, aku dan 100 juta lebih kaum perempuan di negeri ini
bersama kaum lelaki
kita akan mampu memimpin negeri ini kembali berdiri

Jika kita mensyukuri keelokan budayanya
kaum lelaki adil membagi kekayaan alamnya
Jika kita menjaga keindahan tata kehidupannya,
kaum lelaki mendahulukan akhlak bangsa
hingga negeri ini bangkit kembali pun tanpa gerakan-gerakan kesetaraan segala macam sekalipun
Bisa kita hanya dengan sangat sederhana di rumah-rumah kita!
Dari diri kita, para ibu, para istri, perempuan dewasa, dan gadis remaja
dan bahkan anak-anak perempuan kita

Kita mampu membawa obor perubahan dalam diri kita
Bawa masyarakat ini dari kegelapan menuju cahaya!
Cahaya peradaban baru!
Peradaban yang nyaman meski hidup dalam perbedaan,
mulia dalam perilaku meski dalam tantangan, dan sejahtera luar dalam bagi penduduk darat dan lautan

Kini kukatakan kepadamu wahai kaumku, di tangan kitalah bola ditawarkan!
Bawa bangsa ini keluar dari kegelapan
Tegakkan bahumu, kuatkan kedua kaki, dalam keputusanmu,
nasib bangsa ini dititipi, berdirilah engkau di rumah-rumahmu,
dan biarkan hati nurani memimpinmu

Lihatlah semua kelalaian akan waktu
Tumpukan pekerjaan dan keluhan yang menghabiskan setiap detik hidupmu membuat anak-anak tak lurus menyebut nama Tuhanmu, tidakkah kita malu?

Dua buku warisan penyelamat hidup kau biarkan menjadi debu
Bagaimana anak-anak kita bisa mencintai Tuhannya, sedangkan kita sibuk luar biasa?
Bagaimana anak kita bisa mencintai Rasul-Nya, sedangkan kita sendiri juga belum mengenalnya?

Maka dengarkan suara yang terdalam dalam sujud tengah malam
Pandanglah dirimu dari pancaran air yang hina, kini berubah menjadi pengingkar yang nyata
Ketika nama Tuhan tak lagi menggetarkan jiwa...

Maka marilah, kau dan aku, selenggarakan lagi rumah tangga ini
Kau boleh bekerja, tapi jangan kau lupa para lelakimu,
ajaklah duduk merendah Istiqomah kembali kepada aturan Allah,
dan buatlah dirimu mengerti jika kita terbang terlalu tinggi,
anak-anak hanya akan dididik oleh televisi
Dan janganlah menyangka seolah sia-sia pelajaran sekolah jika kita tak keluar rumah.
Minnadzdzulumaat ila nuur, Minnadzdzulumaat ila nuur, Minnadzdzulumaat ila nuur
Inilah yang mengilhami Kartini; berangkat hijrah dari kegelapan menuju cahaya
Cahaya Peradaban baru.
Peradaban mengikuti aturan Tuhan yang satutidak dua, tidak tiga.
Satu! AHAD! AHAD!
Dan suatu hari di masa depan nanti, aku rindu mendengar ini dari mulut-mulut dan hati para perempuan yang kucintai:
Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzdzibaan!
Alangkah banyak Nikmat-Nya yang tak dapat kita,
kaum perempuan, dustakan!

[Neno Warisman, Izinkan Aku Bertutur: 2004]

Tidak ada komentar: