Rabu, 23 Januari 2008

ANTARA KELUARGA DAN KARIR

“Sayang sekali, sekolah tinggi-tinggi, cuma jadi ibu rumah tangga…”
Inilah kalimat yang sering terlontar ketika ada seorang sarjana yang tidak berkarir dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Di dalam masyarakat Kapitalistik saat ini, seseorang dipandang sukses dan mulia jika memiliki karir yang bagus dan materi yang berlimpah. Peran sebagai ibu tidaklah termasuk di dalamnya, hal ini karena tidak mendatangkan penghasilan. Alhasil peran ibu sering dipandang sebelah mata. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam terhadap peran wanita ?

Peran Utama
Sebagaimana halnya laki-laki, wanita adalah ciptaan Allah SWT. Untuk menjalani kehidupannya, Allah SWT telah membekalinya dengan seperangkat potensi kehidupan yang terdiri dari: naluri-naluri, kebutuhan jasmani dan akal.

Dengan potensi itu, wanita mampu memahami petunjuk dari Allah SWT dalam al-Quran dan as-Sunnah. Hanya saja di antara mereka ada yang memilih jalan kebaikan, namun ada pula yang memilih jalan keburukan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan (jalan) ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams : 8-10)
Petunjuk dari Allah SWT akan membuat seorang muslimah mampu memecahkan masalah-masalah kehidupannya dengan baik dan terarah. Dan keimanannya kepada Allah mendorongnya menjadikan aturan-aturan Allah sebagai metode yang benar dan tepat untuk memenuhi kebutuhannya.
Islam telah menempatkan wanita pada dua peran penting dan strategis. Yaitu sebagai ibu bagi generasi masa depan dan sebagai pengelola rumah tangga suaminya. Sabda Rasulullah Saw, yang artinya : ”Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepengurusannya” (HR. Muslim). Dan syariat Islam menjamin kesempurnaan peran tersebut dengan menetapkan bagi wanita sejumlah hukum yang berkaitan dengan kehamilan, kelahiran (wiladah), pemeliharaan bayi (radha’ah), penyusuan (hadhanah), iddah, kebolehan tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi wanita yang sedang mengandung dan menyusui.
Dengan demikian, aktivitas pokok yang wajib bagi wanita adalah tetap menjalankan perannya sebagai ibu dan pengelola rumah tangga.
Kemuliaan Ibu
Peran sebagai ibu dan pengelola rumah tangga adalah peran yang sangat mulia. Kemuliaan ini dituturkan dengan begitu indah oleh Asma’ binti Yazid seorang utusan para muslimah di masa Rasulullah. Al Baihaqi merekam peristiwa ini dalam riwayatnya:

Asma’ binti Yazid pernah datang kepada Rasulullah saw yang tengah berkumpul bersama para sahabat. Asma’ berkata :
”Wahai Rasulullah, demi ayahku, Engkau dan ibuku, aku adalah utusan para wanita. Sesungguhnya belum ada seorang wanitapun baik di Timur maupun di Barat yang terdengar darinya ungkapan seperti yang akan aku ungkapkan; atau belum terdengar seorangpun yang mengemukakan seperti pendapatku. Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT mengutus mu kepada laki-laki dan wanita seluruhnya, hingga kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Akan tetapi sesungguhnya kami para wanita terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding rumah kalian (para laki-laki), memenuhi syahwat kalian dan mengandung anak-anak kalian. Sesungguhnya kalian, wahai laki-laki mempunyai kelebihan daripada kami, dengan berkumpul dan berjamaah, melakukan kunjungan kepada orang sakit, menyaksikan jenazah, menunaikan ibadah haji demi ibadah haji, dan –yang lebih mulia lagi dibandingkan semua itu- adalah jihad di jalan Allah. Jika salah seorang dari kalian keluar untuk menunaikan ibadah haji, menghadiri pertemuan, atau berjaga di perbatasan, sungguh kamilah yang menjaga harta kalian, yang mencuci pakaian kalian dan yang mengasuh anak-anak kalian. Wahai Rasulullah, lalu adakah kemungkinan bagi kami untuk bisa menyamai kalian dalam kebaikan ?”
Rasulullah saw kemudian menoleh kepada para sahabat seraya berkata: ”Apakah kalian mendengar perkataan wanita ini ? Sungguh, adakah yang lebih baik dari apa yang diungkapkannya berkaitan dengan urusan agama ini?”
Para sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, kami tidak menyangka bahwa wanita ini tertunjuki pada perkataan tersebut.”
Rasulullah saw lalu menoleh kepada wanita tersebut seraya bersabda, ”Pergilah pada wanita mana saja dan beritahukan kepada mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaannya, dan mengikuti keinginannya adalah MENGALAHKAN semua itu.”
Mendengar sabda Rasulullah saw, wanita itupun pergi seraya bersukacita. Ia kemudian menyampaikan kabar gembira itu kepada kaumnya. (HR. Baihaqi)
Subhanallah! Betapa mulianya peran ibu dan pengelola rumah tangga, bila wanita melaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan hanya mengharap ridha Allah SWT, dan bukan karena keterpaksaan.
Ketika peran ibu dan pengelola rumah tangga diabaikan, maka akan terjadi kerusakan yang menimpa anak-anak, suami dan muslimah itu sendiri. Anak-anak tidak terawat dengan baik. Keadaan ini hanya akan memunculkan generasi yang lemah. Rumah tidak cocok lagi ditinggali, percekcokan suami istri mudah timbul, institusi keluarga menjadi semakin rapuh, diambang kehancuran. Para muslimah akan mengalami kelelahan fisik dan psikis, bahkan bukan tidak mungkin mengalami kekerasan fisik dari sang suami.
Demikianlah, ketika aturan Allah diabaikan, yang terjadi hanyalah melepas kebaikan dan menuai kerusakan. Na’udzubillahi min dzalik.

Ibu Berkarir
Sebagai kepala rumah tangga, Islam mewajibkan laki-laki untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Sementara wanita, dijamin nafkahnya oleh sang suami atau wali. Meski demikian, Islam tidak melarang wanita bekerja. Islam membolehkan wanita memiliki harta sendiri. Wanita pun boleh berusaha mengembangkan hartanya. Firman Allah, yang artinya : ” ... dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan ... ”(QS. An-Nisa’ : 32)
Hanya saja ketika wanita bekerja (berkarir) harus terikat dengan hukum syara’ yang lainnya. Artinya, wanita tidak boleh menghalalkan segala cara dan tidak peduli atas jenis dan kondisi pekerjaannya. Ketaatan pada hukum syara’ akan menjadikan kehormatan wanita senantiasa terjaga. Beberapa rambu yang harus diperhatikan bagi ibu yang bekerja :
1.Menjaga/menundukkan pandangan, menahan diri dari melihat lawan jenis yang disertai dengan syahwat dan menahan diri dari melihat aurat lawan jenis.
2.Mengenakan busana yang sempurna menurut syariah Islam ketika pergi bekerja.
3.Memperhatikan adab ketika berinteraksi dengan lawan jenis, seperti tidak berkhalwat (berdua-duaan di tempat sepi) dan hindari obrolan yang tidak perlu.
4.Tidak berlebih-lebihan dalam berhias (tabarruj), sehingga dapat menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramnya.
5.Tidak bekerja di bidang pekerjaan yang mengeksploitasi kewanitaannya.
6.Tidak melakukan perjalanan sehari semalam tanpa mahram.
Rambu-rambu ini merupakan tindakan preventif agar tidak terjadi pelecehan seksual serta efek-efek lain akibat interaksi yang tidak terbatas saat ia bekerja.
Bila terjadi benturan antara karir dan keluarga, maka yang harus didahulukan adalah peran dalam keluarga. Karena itu, bagi ibu yang berkarir, kemampuan mengatur waktu dan menjaga ketahanan fisik jelas tak bisa diabaikan. Kelelahan dan tidak adanya waktu, tak dapat dijadikan sebagai alasan terlantarnya urusan rumah tangga. Karena kewajiban sebagai ibu dan pengelola rumah tangga adalah dari Allah dan kelak harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Pilihan berkarir bagi ibu mengandung konsekuensi yang tak ringan, karenanya perlu juga dipertimbangkan tempat dan waktu kerja.
”Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, maafkanlah kami, berilah kami petunjuk dan kekuatan agar menjadi istri-istri yang shalihah dan menjadi ibu-ibu terbaik bagi anak-anak kami,menjadi pendidik terbaik bagi generasi masa depan. Amin”

(Amin Justiana)











Tidak ada komentar: