Jumat, 04 Januari 2008

Menanamkan Kejujuran Sejak Dini

Kejujuran adalah bibit kedamaian. Tatanan masyarakat akan tercipta dengan baik kala individu-individunya berselimutkan kejujuran. Jikakejujuran ditanamkan sejak dini, akan berbuah ketenangan di kemudian hari.Jumadi baru saja pulang dari kantor ketika anaknya, Ari (4 th)berlari menghampirinya. Ari tak peduli ayahnya kecapekan. Ia menubruk sang ayah yang sedang berjongkok melepas sepatu. Beberapa saat kemudian keduanya tenggelam dalam permainan kuda-kudaan. Sambil tertawa girang, Ari naik ke punggung ayahnya. Tangan kanannya menepuk-nepuk pundak sang ayah. Teriakan kecil ibunya dari ruang tengah yang menyuruhnya turun, tak digubris Ari. Ia tetap asyik menggebrak “kuda tunggangannya”.Permainan kuda-kudaan itu baru berhenti ketika terdengar suara pintu diketuk. Sang ayah buru-buru meminta anaknya turun dari punggungnya. Lalu buru-buru pula masuk ke kamarnya seraya berkata, “Ari yang buka pintu, ya. Kalau tamunya nyari ayah, bilang ayah tidak ada!”

Anak yang baru berusia 4 tahun itu segera menuju ke arah pintu dan membukanya. Begitu pintu dibuka seorang laki-laki menyapanya. Setelah mengucapkan salam, sambil tersenyum laki-laki itu berkata, “Ayahnya ada?”

“Mmm, kata ayah, ayah tidak ada,” Ari menjawab.Sang tamu tersenyum. Ia tahu tuan rumah sedang tak mau menerima tamu. Sambil tersenyum ia pamit pulang. “Sampaikan salam saya untuk ayahmu, ya. Dari Pak Hasan, gitu,” ujar si tamu.

Cerita seperti yang dialami Hasan dalam kisah di atas begitu akrab di telinga kita. Bahkan, kisah itu sudah menjadi semacam anekdot di setiap pembahasan tentang kejujuran. Ya, kadang tanpa sadar kita kerap melatih anak untuk bertindak tidak jujur. Kepenatan selepas kerja, kesibukan mengurusi keluarga atau berbagai permasalahan pribadi lainnya sering membuat kita tak sadar telah berbohong. Kadang sepele, memang. Seperti kisah di atas. Karena tak mau menemui tamunya, Jumadi “terpaksa” berbohong. Ironisnya tindakannya itu justru dilakukan di depan anak kecil yang begitu polos untuk diajak kerja sama.Jumadi tak sadar, dengan melakukan tindakan tersebut, ia telah menanamkan bibit virus. Mungkin virus tersebut kecil, tapi bisa berkembang biak menjadi besar dan mengakar pada kepribadian anak hingga dewasa. Padahal, tak begitu sulit bertindak jujur. Dalam kasus di atas Jumadi bisa saja terus terang mengatakan dirinya capek dan tidak siap menerima tamu. Tentu, sang tamu akan bisa memahami dan lebih bisa menerima ketimbang dibohongi.

Ketika anak melihat ketidakjujuran langsung di depan matanya, akan membekas dalam benaknya untuk meniru. Ironisnya, di antara orang yang akrab dengan anak adalah pembantu yang sebagian besar pendidikannya tidak terlalu bagus.

Selain contoh dari orang terdekat, kebiasaan berbohong pada anak juga bisa muncul lantaran sikap kasar orangtua. Anak-anak berbohong karena takut dimarahi atau diperlakukan kasar jika melakukan kesalahan. Misalnya, ketika Anto (sebut saja demikian) memecahkan guci kesayangan ibunya, terpaksa berbohong karena takut dimarahi. Sehingga, ketika orangtuanya bertanya, ia malah mengatakan bahwa kucing atau pembantulah yang memecahkan guci tersebut. “Bohong itu merupakan salah satu problem solving anak-anak untuk melepaskan diri dari ketakutannya,” ujar Ery Soekrisno, Psi. Karenanya, menurut Direktur Pendidikan Sekolah Islam Fitrah Al-Fikri, Studio Alam TVRI, Sukmajaya, Depok ini, kalau orang tua ingin agar anaknya jujur, ia harus menghindari marah berlebihan kepada anak.

Selain itu, anak-anak yang merasa dirinya kurang, baik secara fisik maupun non fisik, cenderung juga berbohong. Ia melakukan itu untuk menutupi kekurangannya. Misalnya, jika orangtua tak bisa menangani, anak yang selalu mendapat nilai rendah dalam ujiannya cenderung berdusta. Ia berbohong karena tak mau orang lain tahu kalau nilainya rendah.

Karenanya, orangtua harus berbuat sebijak mungkin menghadapi anaknya. Jangan membuat anak berbohong lantaran takut dimarahi. Ada kalanya juga anak berbohong hanya sekadar ingin mendapat perhatian. Misalnya, Fajar anak kelas IV sebuah SD di Jakarta selalu menjadi juara kedua di kelasnya. Meskipun tak menjadi juara pertama, Fajar membutuhkan perhatian, dorongan, dan semangat dari orang tuanya. Tapi orangtuanya bersikap biasa-biasa saja sehingga Fajar berbohong kepada orang tuanya. Fajar mengatakan, semester mendatang nilainya pasti turun karena hasil ulangan sehari-harinya selalu jelek. Bahkan, ia mengatakan sering mendapat hukuman dari gurunya karena sering terlambat masuk sekolah dan jarang mengerjakan tugas. Ternyata setelah rapor dibagikan, tidak ada nilai yang jelek. Bahkan, ada beberapa pelajaran yang nilainya naik dan Fajar menduduki peringkat pertama. Hal itu ia kerjakan hanya sekadar ingin diperhatikan oleh orang tuanya.

Namun sebagian anak ada yang sebenarnya tak bermaksud berbohong. Menurut Mohammad Fauzil Adhim, istilah ini dikenal dengan white lies. Anak berfantasi dan ia belum bisa membedakan antara fantasi dengan kenyataan. Apa yang sesungguhnya fantasi dianggap benar-benar nyata, sehingga ia mengungkapkannya kepada orang lain. “Ini bohong, tetapi anak sesungguhnya tak bermaksud berbohong,” ujar penulis buku bertema keluarga ini.
Ery Soekrisno, Psi juga sepakat dengan apa yang diungkapkan Fauzil Adhim. “Anak-anak yang mempunyai kecenderungan senang berbohong itu, sebetulnya tak boleh dilihat sebagai karakter. Karena, pada anak-anak, balita sampai usia 7 tahun, kadang-kadang masih sulit membedakan antara fantasi dengan riil,” tambahnya. Ibu empat orang putra ini memberikan contoh, “Ada anak yang bilang, “Aku kemarin juga ke Amerika.” Padahal yang benar, kemarin dia mendengar omongan kalau sepupunya baru dari Amerika. Anak seperti ini, sebenarnya tidak bermaksud bohong, tapi karena begitu takjub dengan cerita yang membuatnya menjadi bengong, akhirnya dia merasa ada di dalam cerita itu.

Faktor lain yang menyebabkan anak berdusta adalah karena berteman dengan mereka yang suka berbohong. Benar kata ungkapan, bahwa kalau ingin mengetahui akhlak seseorang, lihatlah temannya. Sebab, teman mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak.
Tontonan juga berpengaruh besar bagi anak. Mereka yang sering menyaksikan film anak-anak yang isinya penuh dengan tipuan dan bohongan, akan terpengaruh. Sebutnya misalnya sosok Nobita dalam film Doraemon. Sifatnya yang cengeng, nakal, cerewet, usil, suka membantah orangtuanya dan suka bohong jelas berpengaruh bagi anak.

Tak hanya TV, buku juga sangat berpengaruh pada sikap, perilaku dan kepribadian anak. Sayangnya, sangat sedikit buku-buku Islami yang bagus. “Beberapa penerbit tampak tak mempunyai konsep. Tepatnya tidak mengerti pembaca sasaran (target readers) yang digarap. Sehingga, maksud yang baik terkadang justru bisa berbalik membahayakan sikap mental dan cara berpikir anak. Ini terjadi karena penerbit tak memahami bagaimana membangun inner message pada buku anak,” tambah Mohammad Fauzil Adhim.

Masih menurut penulis buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah ini, pengalaman juga mempengaruhi anak untuk bertindak tidak jujur. “Mereka yang mendapatkan suasana psikologis tak menyenangkan ketika jujur, dan sebaliknya memperoleh suasana psikologis positif ketika bersikap tidak jujur, akan membuatnya keranjingan berbohong,” tambahnya. Karenanya, ketika anak mengaku apa adanya, orangtua seharusnya memaklumi dan meluruskan pelan-pelan kesalahannya. Jangan justru menimpakan hukuman dan ancaman.

“Biasakan untuk tidak menekan anak,” tambah Ery Soekrisno. “Ketika anak bersalah, kita jangan langsung mencari sebabnya. Tapi kita berusaha untuk menyelesaikan masalahnya. Sebab, kata-kata kenapa, berarti harus ada pertanggungjawabannya. Padahal, anak-anak berbuat tidak jujur tak semua atas keinginannya, tapi lebih dominan karena ketidaktahuannya. Jadi, caranya tidak dengan menekan anak,” ujar ibu berputra empat ini.
Lebih penting dari itu adalah keteladanan. “Marilah kita belajar untuk berkata dengan qaulan sadida (berkata benar, red) kepada anak. Insya Allah anak akan belajar mempercayai kita sebagai orangtua. Bermula dari rasa percaya, anak akan mengembangkan sikap jujur terhadap orangtua. Hormati hak anak, sehingga ia merasa aman. Selain itu, marilah kita belajar menghargai anak ketika mengungkapkan kesalahannya. Bukan karena mendukung kesalahannya, tetapi karena kita menghargai keberaniannya untuk bersikap jujur,” ungkap Fauzil Adhim bijak. (nasrulloh.wordpress/10 Agustus 2007)

Tidak ada komentar: