Sabtu, 12 Januari 2008

Manajemen Kelahiran : Menuju Keluarga Saleh Bahagia Sejahtera

Jaman sekarang, menemui keluarga beranak lima sudah bisa membuat orang geleng kepala. Apalagi kalau 8, 9, 10 dan seterusnya. Gelengan kepalanya tentu ditambah mata yang terbelalak. Pembentuk keluarga besar memiliki hujjah, banyak anak-banyak rezeki. Tetapi, persoalan banyak rezeki, sejahtera dan bahagia, benarkah selalu terkait dengan berapa jumlah anak?

Di tengah tingkat persaingan hidup yang tinggi dan semakin sulitnya meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga di masa sekarang ini, membangun keluarga kecil dengam satu dua anak memang umum jadi pilihan. Alasannya, membangun keluarga kecil lebih memungkinkan pasangan suami istri memberikan kesejahteraan pada seluruh keluarga. Pendidikan yang lebih baik bagi anak, pemenuhan kebutuhan yang lebih ideal hingga jaminan masa depan yang lebih mudah diraih.

Meminjam teori pohon pisang, yang pada beberapa kurun waktu lalu kerap digunakan para petugas penyuluhan KB di desa-desa, dijabarkan bahwa demi memperoleh pohon pisang yang sehat, berbuah banyak, gemuk, dan berkualitas ekspor, anak-anak pohon pisang yang tumbuh banyak harus ’disingkirkan’ sebagian, agar tidak berebut unsur hara. Dengan kata lain, anak banyak berarti banyak kebutuhan, banyak kerepotan, dan banyak masalah.

Selintas, hal ini benar adanya. Semakin banyak anak, tentu semakin banyak biaya harus dikeluarkan orangtua. Mulai dari biaya pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, hingga biaya rekreasi. Semakin banyak pula kebutuhan yang harus dipenuhi, semisal rumah yang lebih lapang, tabungan yang lebih banyak dan macam-macam lagi.

Namun, Rasululloh Muhammad saw, sebagai teladan utama, telah menyebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i bahwa jumlah umatnya yang banyak di yaumil akhir nanti akan menjadi satu hal yang membuat beliau bangga. Tidakkah ini menjadi sebuah dorongan bagi umat Islam untuk memperbanyak anak?

Banyak anak, banyak umat

Mengkaji hadits-hadits Rasululloh yang membicarakan soal keutamaan memiliki anak banyak, Ustadzah Aan Rohana, Lc, Mag., menjelaskan bahwa maksud hadits ini dapat dimengerti sebagai sebuah tujuan dakwah. Banyaknya anak tentu akan memperbanyak umat yang diharapkan dapat menjadi pejuang-pejuang penegakkan nilai-nilai Islam.

”Dengan jumlah yang banyak, diharapkan Islam bisa lebih eksis, kebatilan pun akan semakin sirna,” kata lulusan pasca sarjana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini.
Bila faktor penegakan dakwah Islam yang menjadi landasan utama, maka ini menunjukkan bahwa faktor jumlah anak masih harus dikaitkan dengan persoalan kualitas. ”Jadi pada pronsipnya, di samping mengidamkan jumlah anak yang banyak, yang tidak boleh dilupakan orang tua adalah soal kualitas anak,” tambah ibu dari 8 anak ini.

Kualitas seperti apa sebenarnya yang dimaksudkan? Ustadzah Rohana menjelaskan bahwa umat berkualitas yang diharapkan muncul, bukan sekedar umat yang terdiri atas pribadi-pribadi saleh atau salehah, tetapi sosok yang mampu menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa.

”Setiap orang tua seharusnya berharap mampu melahirkan anak-anak yang tak hanya menjadi penghibur hati orangtuanya, tetapi juga bisa memberikan kontribusi besar bagi masyarakat, bahkan menjadi pemimpin orang yang bertaqwa, sebagaimana do’a kita, Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun, waja’alna lil muttaqina imama..” jelas istri dari Abdul Hasib Hasan ini pula.

Banyak anak, banyak rezeki

Lalu, benarkah banyak anak selalu berarti banyak rezeki? ”Benar”, ucap psikolog Indra Sakti. ”Karena setiap anak sudah dijamin rizkinya oleh Alloh.”
Namun, tambah Indra segera, perlu diingat bahwa manusia tak pernah tahu hitungan matematis dari rizki yang Alloh sediakan. ”Mudahnya, apabila anak kita 2, apakah itu berarti rizkinya pun jadi 2? Bisa menjadi 3 atau malah 1,5 kan?”

Maka Indra pun mengingatkan agar setiap orang tua harus terus mengupayakan pencarian rizki ini dengan persiapan yang matang. ”Jangan seperti orang fatalis yang mengatakan semua makhluk ada rizkinya dari Alloh, lalu dia tidak berusaha, atau tidak kunjung melipatgandakan usahanya. Padahal bagusnya kan bila anak jadi 2, rizkinya jadi 3,5, bukannya malah jadi 1,5, karena kita kurang usaha atau kurang planning usaha.”

Ustadzah Rohana pun menyetujui soal upaya sungguh-sungguh dalam mempersiapkan faktor ekonomi bagi pasangan yang memiliki anak banyak.
”Finansial adalah faktor yang amat dibutuhkan. Sehingga setiap orang tua jangan hanya berfikir, ’Alhamdulillah anak lahir, dia bawa rizki’. Semestinya orang tua juga berfikir anak yang lahir ini kualitas hidupnya harus tetap baik seperti anak-anak sebelumnya, yang salah satunya ditopang oleh kesiapan finansial.”

Bahkan pimpinan ormas Persaudaraan Muslimah (Salimah) ini pun mengajak para muslimah, para istri, untuk tak segan membantu perekonomian keluarga. ”Peluang memberdayakan potensi yang bisa menghasilkan dana bagi muslimah, kini terbuka luas. Apalagi pengetahuan di tengah umat itu kan amat dihargai. Muslimah yang bermoral, berwawasan, punya potensi dan berdaya guna, saya yakin bisa turut menghasilkan dana bagi keluarganya.”

Namun, meski persiapan finansial menjadi poin penting dan pemikiran fatalis harus disingkirkan, Indra Sakti mengingatkan bahwa soal hidup tetap tak dapat dimatematika-kan.
”Bisa saja seseorang sudah punya rencana, tambah anak kalau sudah naik jabatan, atau nabung dulu untuk menyiapkan segala macam. Tapi kemudian, ketika uang cukup ternyata Alloh mentakdirkan anak pertama sakit dan butuh biaya besar. Ini kan tak bisa diramalkan,” papar lelaki kelahiran Jakarta, 40 tahun silam ini.

Karenanya, saran dari psikolog dari lembaga Insani Consulting ini, yang terbaik adalah bagaimana setiap pasangan suami istri berupaya menyelaraskan antara usaha dan ketawakalan mereka. Baik dalam perencanaan kelahiran anak, maupun dalam hal usaha pencarian nafkah.
Banyak sedikit, sama siapnya

Karena itu apa yang perlu diperhatikan orang tua dalam hal memenej kelahiran anak-anak?
Baik Ustadzah Rohana maupun Indra Sakti sepakat bahwa persiapan orang tua memang harus matang dalam hal merencanakan kelahiran demi kelahiran anak. Sementara soal jumlah, tak ada yang dapat menentukan angka ideal karena sifatnya yang sangat individual. ”Kalau secara bahasa saja, dalam bahasa Arab, 3 itu kan sudah jamak, ” kata Ustadzah Rohana.

Yang terpenting, keinginan punya anak banyak harus lebih menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasional ketimbang emosional. Diantara persiapan yang perlu diperhatikan orang tua adalah :

Pertama, faktor mental rohani keluarga. Mental dalam artian emosi-psikologis maupun dalam arti ruhiyah. ”Orang tua harus menjadi sosok yang mampu menghadapi persoalan, emosinya stabil, punya kematangan berfikir dan punya wawasan soal tumbuh kembang anak,” saran Indra.

Sementara Ustadzah mengingatkan orang tua untuk selalu menjalin kedekatan hubungan dengan Alloh sebagai modal utama. ”Perbanyak ibadah, perbanyak taqorrub ilalloh, perbanyak beramal saleh, karena rahmat Alloh selalu dekat pada orang-orang yang selalu berbuat baik.”
Kedua, timbanglah faktor kesehatan keluarga, lebih khusus lagi kesehatan ibu karena ibulah yang akan menanggung beban kehamilan dan melahirkan.

Ustadzah Rohana mengingatkan, mengacu pada Al Qur’an, masa menyusui disebutkan berlangsung selama 2 tahun, hingga dapat dikatakan jarak ideal melahirkan adalah setiap 3 tahun. Tetapi, tambah Ustadzah, bila ada perbedaan kondisi individual, baik ibu yang lemah maupun ibu yang justru amat fit, tak tertutup kemungkinan jarak itu menjadi berkurang atau bertambah.

Ketiga, timbang pula faktor finansial. Dimana orang tua harus sudah memiliki perencanaan yang jelas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarga termasuk tambahan-tambahan kebutuhan yang muncul seiring bertambanya jumlah anak.

Soal membuka pintu rizki ini, Ustadzah Rohana mengingatkan kita untuk tidak terpaku hanya pada upaya-upaya kerja duniawi tetapi juga pada upaya-upaya spiritual. ”Biasakan sholat dhuha 4 rakaat, karena Rasululloh berkata, siapa yang sholat dhuha 4 rakaat di pagi hari, Alloh janjikan kecukupan di sore hari.”

Begitu pula dengan tahajjud dan shoum, disarankan sangat oleh Rohana untuk selalu menjadi bagian dari rutinitas keseharian orang tua. ”Sebab unsur ma’nawiyah berperan sangat penting dalam mendatangkan rizki dari Alloh,” kata Ustadzah lagi.

Persiapan lain yang tak kalah penting untuk dipersiapkan orang tua adalah persiapan keempat, yaitu ilmu pengetahuan yang cukup dan selalu dikembangkan, yang bisa membawa setiap keluarga menjadi terampil, berwawasan luas, dan selalu maju. Dengan begitu setiap orang tua tidak gagap dengan kondisi jaman dimana mereka hidup dan bahkan mampu menghantarkan anak-anak mereka siap mengarungi jaman mereka sendiri yang bisa jadi jauh berbeda dengan jaman kedua orang tuanya.

Zirlyfera Jamil, Ummi 2004

Tidak ada komentar: