Rabu, 23 Januari 2008

Positive Parenting : Beri Imunisasi untuk Jiwanya

Oleh Fauzil Adhim

Istri saya menangis. Hari itu Fatimah, anak saya yang pertama, bercerita kepada ibunya tentang apa yang dijumpai dalam perjalanan pulang dari sekolah. Dua anak berseragam SMP berlainan jenis kelamin, menyepi berdua-duaan di lapangan dekat sekolah. Siswa laki-laki mendekatkan wajahnya, sehingga keningnya bertemu dengan kening temannya yang perempuan. Pipi bertemu dengan pipi, dan selebihnya saya tidak cukup tega untuk menceritakan kepada Anda.

Terus mereka pegang-pegangan, kata Fatimah melanjutkan, itu kan ngga boleh ya bunda? Istri saya tersentak. Cerita yang sama sekali tak terduga. Sama seperti pertanyaan yang datang dengan tiba-tiba, kerap membuat kita terkesiap akibat pertanyaan anak datangnya selalu lebih cepat daripada jawaban yang tersedia di kepala kita. Maka sungguh kita tak pernah cukup mengantarkan mereka dewasa kalau kita hanya mengumpulkan perbendaharaan jawaban yang berlimpah. Yang harus kita miliki adalah arah yang kuat dalam mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang jelas, dan kesediaan untuk terus belajar. Kuncinya, Allah tunjukkan dalam surah An-Nisa.

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa pada kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (qaulan sadida). (QS. AN-Nisa [4] : 9)

Inilah yang harus kita berikan. Ini pula yang harus kita tumbuhkan dalam diri kita. Tetapi, astaghfirullah-azim, alangkah jauh kita dari Allah ta’ala. Alangkah rapuh ketakwaan kita kepada-Nya. Padahal Allah azzawa jalla telah menjanjikan memperbaiki amal-amal kita, tidak terkecuali dalam menyiapkan anak-anak kita menjadi kader dakwah yang iman selalu di hatinya, baik di saat tangan menggenggam dunia seisinya ataupun ketika dunia terlepas dari dirinya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Q.S Al-Ahzab [33] : 70-71)

Tak ada jalan lain menghadapi cerita pertanyaan anak yang mengejutkan, kecuali memanfaatkan saat terbaik ini untuk memberi pengertian dan mengarahkan hatinya kepada kebaikan. Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, seburuk apa pun pertanyaan yang ia berikan kepada kita, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaanya dengan tidak mematikan kesediaanya untuk bertanya serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.

Artinya, tak cukup hanya memberikan jawaban sehingga anak paham atau justru menimbulkan pertanyaan baru yang lebih membingungkan. Lebih dari itu, kita memberi jawaban sembari menumbuhkan pada dirinya amanah untuk bertindak. Amanah yang kelak Allah akan minta untuk dipertanggungjawabkan.

Berbuat Dosa

Mendengar cerita anak saya, istri saya kemudian berkata dengan suara yang dalam dan berat. Dia ajak Fatimah mendekat, sehingga adik-adiknya juga tertarik mendekat. Fathim, kata istri saya menahan tangis, ”mereka sebenarnya sedang berbuat dosa. Di antara mereka ada yang tidak tahu kalau itu perbuatan dosa karena mereka tidak pernah belajar agama. Tetapi ada juga yang sudah tahu. Mereka mengerti kalau perbuatan itu dosa, tetapi tidak mau menaati.”

Kalau mereka mengerti, kenapa mereka tetap berbuat yang ngga baik? Kan mereka bukan muhrim, Bunda? kata Fathim bertanya. Nak, untuk taat tidak cukup hanya mengerti. Mereka mungkin ingin menjadi orang yang baik dan tidak berbuat dosa. Tetapi, mereka tidak kuat menahan godaan, kata istri saya.

Memangnya mereka digoda? Siapa yang menggoda? Kan setannya ngga kelihatan, tanya Husain menyergah. Anak yang kedua ini memang sering membuat kejutan dengan pertanyaan yang kritis.

Kelihatan, Nak. Setan itu kadang menggoda lewat bisikan hati, kadang melalui manusia, kadang melalui televisi, kata istri saya menerangkan. Kemudian dia mengajak anak-anak itu berdiskusi tentang apa yang pernah mereka lihat di televisi, meski kami lebih memilih untuk tidak punya televisi di rumah.

Tetapi bukankah kereta api milik PJKA pun kadang tayangan yang disajikan sangat merusak mental anak? Bukankah di bandara pesawat televisi senantiasa menyala-nyala? Maka mereka dapat menyerap sebagian tayangan televisi di saat-saat yang tak terhindarkan itu. Kadang mereka bahkan menyerap tayangan televisi tanpa harus melihatnya.

Istri saya bertutur kepada mereka, seandainya televisi menayangkan program-program yang baik untuk menambah kemuliaan dan keimanan, insya Allah di rumah akan ada televisi. Tetapi memang tayangan-tayangan di televisi lebih banyak sampahnya daripada manfaatnya.

Tapi kan kita bisa lihat berita? Tanya fatimah. Iya, Nak. Tetapi di televisi lebih banyak gosip daripada berita. Kalau mau mencari berita, kita bisa baca di koran. Setiap hari di rumah kan sudah ada tiga koran, bisa kita baca. Itu pun kita harus berhati-hati. Tidak boleh langsung percaya, kata istri saya menjelaskan.

Ya, tidak setiap berita dapat kita percaya begitu saja. Tidak setiap yang disebut kebenaran di dalam koran dengan sendirinya bebas dari kesalahan. Dan ini harus kita sampaikan kepada mereka semenjak masa kanak-kanak agar kelak tidak menjadikan media sebagai tuhannya.

Ada yang harus kita cermati pada setiap berita, agar kita tak salah memahami dalam mengambil kesimpulan dan salah pula dalam mengambil keputusan. Sebuah berita yang disebut objektif, tidak dengan sendirinya terbebas dari kepentingan wartawan dan pemilik koran.

Sesungguhnya, tidak ada yang ma’shum di dunia ini selain Nabi. Tidak ada yang terjamin bebas dari salah dan dosa, meski ia seorang wartawan. Lebih-lebih jika berita itu datangnya dari orang-orang fasik dan kantor berita fasik. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah mengingatkan dalam Alquran?

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS Al-hujurat [49]:6)

Jadi Orang Cerdas

Istri saya selalu bercerita tentang James Yee, ulama muslim pada militer Amerika Serikat yang menjadi korban paranoid pemerintahnya. Dia memang baru saja selesai membaca buku For God and Country yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dia bercerita kepada anak-anak bagaimana James Yee difitnah, dipenjara, dan dianiaya hanya dia karena seorang muslim. Media massa Amerika sempat menulis berita yang menjelek-jelekkan James Yee.

Karena itu Nak, kalian semua harus menjadi orang-orang cerdas. Kalian semua harus memiliki iman yang kuat. Kalian semua harus menjadi manusia-manusia cemerlang yang bisa menolong agama Allah, kata istri dengan mata yang berkaca-kaca. Kemudian dia mengusap kepala anak saya kelima, Muhammad Nafis Ramadhan, sembari berkata, kelak kamu harus memiliki bisnis yang besar. Dunia ada ditanganmu, Nak. Tetapi di hatimu hanya ada cinta kepada Allah.

Anak-anak kami yang lain menatap. Aku, Bun? Kalau sudah besar aku juga bisnis? Tanya Husain. Husain biasa memanggil ibunya dengan Bun, bentuk ringkas dari panggilan sayangnya Bunda.

Iya, Nak. Mukmin yang paling baik adalah yang paling kuat. Kuat imannya, kuat badannya, kuat usahanya, kuat segala-segalanya, kata istri saya. Namamu Muhammada Husain As-Sajjad. Ahli sujud. Jadi apapun kamu nanti, semuanya untuk bersujud kepada Allah.

Istri saya kemudian menengok kepada anak saya yang ketiga, Muhammad Hibatillah Hasanin. Kamu nak, semoga kelak seperti namamu, menjadi hadiah bagi orang tua dengan kebaikan. Kebaikan di dunia dan di akhirat, kata istri saya. Air matanya semakin tak bisa ditahan, meski belum jatuh.

Dan kamu, namamu Muhammad Nashiruddin An-Nadwi. Kelak, jadilah penolong agama Allah, ucap istri saya. Kemudian menarik napas dalam-dalam, membiarkan suaranya parau menahan tangis.

Nak, Ibu kadang-kadang melihat apa yang kamu jumpai saat di perjalanan, kata istri saya sembari menuturkan sebagian pengalamannya. Ibu lalu berdoa sambil menangis dalam hati. Ya Allah, lindungilah anak-anak kami dari keburukan dan kejahatan. Ya Allah jadikanlah mereka anak-anak yang bisa meninggikan kalimatmu. Ya Allah, jadikanlah mereka ahli berbuat kebaikan.

Istri saya menangis. Anak-anak saling berpandangan. Husain lalu berkata, jadi air mata bunda jatuh ke dalam hati?

Istri saya terdiam. Satu pelajaran telah kami ambil. Anak-anak harus diberi imunisasi jiwa. Bukan sterilisasi. Tetapi untuk melakukan imunisasi, jarum suntiknya harus steril. Dan jarum suntik itu adalah pendidikan.


1 komentar:

Karima Yolita mengatakan...

Asslm...
Saya Karima Yolita dan saya bekerja sebagai guru IPA di SDIT Citra Az-zahra di Joglo, Jakarta Barat. Salam kenal :)

Sewaktu googling ttg positive parenting, i found this post. Ini kutipan langsung buku-nya Fauzil Adhim, kan? Subhanallah... tulisan beliau sangat indah, ya? simple tapi sarat makna. Saya bersyukur menemukan kutipan ini, karena saya telah diingatkan kembali mengenai fungsi pendidikan yang sebenarnya: menyiapkan anak-anak menghadapi zamannya.

Hatur Nuhun...